LGOSUPER – Kebijakan Imigrasi AS Berubah Menjadi Tidak Bersahabat Brown University Mengeluarkan Peringatan Perjalanan Mendesak
Kebijakan Imigrasi AS Berubah Menjadi Tidak Ramah Brown University Mengeluarkan Peringatan Perjalanan Mendesak
Selasa, Maret 18, 2025

Akademisi asing di AS menghadapi risiko baru karena Universitas Brown mengeluarkan pembekuan perjalanan yang mendesak bagi non-warga negara, yang meningkatkan kekhawatiran atas mobilitas akademis.
Universitas Brown telah membunyikan peringatan bagi para mahasiswa dan staf pengajar internasionalnya, memperingatkan mereka untuk mempertimbangkan kembali perjalanan ke luar negeri setelah deportasi mengejutkan yang telah mengguncang dunia akademis. Tindakan keras tersebut, yang merupakan bagian dari peningkatan penegakan hukum imigrasi oleh pemerintahan Trump, menyebabkan Dr. Rasha Alawieh, asisten profesor yang disegani di sekolah kedokteran Brown, diusir paksa dari Amerika Serikat—meskipun memegang visa H-1B yang sah dan perintah hakim yang mengizinkannya untuk tinggal.
Imbauan mendesak dari universitas tersebut muncul saat para mahasiswa bersiap untuk liburan musim semi, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa para akademisi kelahiran luar negeri dapat menghadapi penahanan dan deportasi serupa saat kembali ke negara asal. Dengan meningkatnya ketidakpastian, banyak yang kini bertanya-tanya apakah akademisi internasional sengaja menjadi sasaran dalam pertempuran imigrasi yang semakin intensif.
Penahanan yang Mengkhawatirkan dan Deportasi yang Belum Pernah Terjadi Sebelumnya
Dr. Alawieh telah melakukan perjalanan ke Lebanon untuk apa yang awalnya dilaporkan sebagai kunjungan pribadi. Namun ketika ia kembali ke AS, ia ditangkap oleh petugas Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) dan segera dideportasi—meskipun ada putusan hakim yang secara tegas memerintahkannya untuk tetap berada di negara tersebut. Pemerintah federal kemudian mengakui bahwa perintah hakim tersebut tidak disampaikan kepada agen CBP tepat waktu, yang menyebabkan apa yang oleh beberapa ahli disebut sebagai kegagalan proses hukum yang sangat fatal.
Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) berupaya membenarkan deportasi tersebut dengan menuduh bahwa Alawieh telah menghadiri pemakaman seorang pemimpin Hizbullah, sebuah kelompok yang ditetapkan AS sebagai organisasi teroris. DHS selanjutnya mengklaim bahwa ia secara terbuka mengakui kepada petugas CBP bahwa ia mendukung Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah, dan memiliki hubungan dengan organisasi tersebut. Namun, para kritikus berpendapat bahwa klaim tersebut masih belum diverifikasi dan seharusnya tidak mengesampingkan perintah pengadilan yang mengikat secara hukum.
Tindakan Keras yang Mengerikan terhadap Dunia Akademis
Deportasi Alawieh merupakan yang terbaru dalam pola tindakan keras imigrasi yang menyasar para akademisi di universitas-universitas elit AS. Pemindahannya terjadi beberapa minggu setelah Mahmoud Khalil, seorang lulusan Universitas Columbia pemegang green card, ditahan tanpa peringatan. Seorang mahasiswa Columbia lainnya tiba-tiba dicabut visanya tanpa alasan yang jelas.
Universitas di seluruh negeri melaporkan lonjakan kasus di mana mahasiswa dan staf pengajar internasional menghadapi penundaan visa yang berkepanjangan, penolakan yang tak terduga, dan pemeriksaan agresif di perbatasan AS. Banyak yang kini khawatir bahwa pemerintah sengaja menjadikan kebijakan imigrasi sebagai senjata untuk mencegah akademisi kelahiran luar negeri tetap tinggal di negara tersebut.
Masa Depan Kebebasan Akademis Terancam
Komunitas akademis gempar, dengan Universitas Brown dan lembaga lain mengutuk deportasi tersebut sebagai serangan terhadap kebebasan intelektual dan kolaborasi internasional. Para kritikus memperingatkan bahwa kebijakan imigrasi agresif pemerintahan Trump merusak kedudukan Amerika sebagai pemimpin global dalam bidang pendidikan dan penelitian.
Para pakar hukum dan kelompok hak sipil juga membunyikan peringatan, dengan menyatakan bahwa deportasi Alawieh menunjukkan kegagalan besar dalam sistem imigrasi. Fakta bahwa perintah pengadilan federal diabaikan—atau tidak pernah dikomunikasikan dengan benar—menimbulkan preseden yang berbahaya, kata mereka, yang menimbulkan kekhawatiran bahwa lebih banyak akademisi kelahiran luar negeri dapat dideportasi secara paksa tanpa proses hukum yang semestinya.
Universitas Melawan Saat Ketakutan Menyebar
Menanggapi ancaman yang semakin meningkat, universitas-universitas berusaha keras untuk menyediakan bantuan hukum dan bimbingan mendesak bagi mahasiswa dan staf pengajar internasional. Banyak lembaga yang memperluas program bantuan hukum, menawarkan dukungan darurat, dan memberi saran kepada pemegang visa untuk tidak meninggalkan negara tersebut kecuali benar-benar diperlukan.
Pengacara imigrasi memperingatkan bahwa jika Alawieh—seorang asisten profesor dengan visa dan dukungan hukum yang sah—dapat dideportasi, tidak ada seorang pun yang aman. Dengan perjalanan yang kini menjadi pertaruhan berisiko tinggi bagi akademisi internasional, peringatan Universitas Brown jelas: AS tidak lagi menjadi tempat berlindung yang aman bagi para akademisi, dan mereka yang pergi mungkin tidak diizinkan untuk kembali.
Seiring meningkatnya tindakan keras terhadap imigrasi, implikasi yang lebih luas terhadap pendidikan dan penelitian global tetap suram. Dengan ketakutan yang mencengkeram lembaga-lembaga akademis, masa depan beasiswa internasional di AS berada dalam ketidakpastian.